Contoh Cerpen berdasarkan Pengalaman Orang Lain
Aku dan Sekeping Yen
Oleh Ardi Alam Jabir
Bunga sakura menghujani jalanku
menuju tempat persinggahanku selanjutnya. Gitar yang kutenteng ini sudah
seperti sahabat dekatku yang setia menemani hari-hariku. Sudah sejak lulus SMA
aku memutuskan untuk benyanyi di jalan-jalan kota untuk meluapkan hobiku dalam
seni musik. Aku berani melepas kuliah demi fokus dalam bidang musik, meski aku
harus menerima ocehan-ocehan orang.
Aku tiba di tempat persinggahanku,
tanpa berlama-lama aku duduk, mengeluarkan gitarku dari sarungnya dan mulai
menyetem gitar disertai nyanyian-nyanyian kecil sebagai pemanasan. Aku mulai
bernyanyi dan mengundang orang-orang datang. Mereka mendengar lagu-lagu yang
kunyanyikan dengan wajah lepas. Aku berharap lagu yang kunyanyikan ini dapat
melepas semua beban mereka. Bagiku mereka tak hanya memberikan senyuman,
tepukan tangan dan sekeping yen yang keluar dari saku mereka tapi mereka
memberi hal yang luar biasa, yakni semangat yang memberiku keyakinan bahwa aku
bisa mencapai impianku sebagai seorang penyanyi besar.
Tak terasa waktu sudah larut malam,
waktunya untuk pulang. Hari ini aku pulang lebih awal dari hari-hari biasanya
karena esok ialah hari yang sangat penting bagiku. Besok aku akan mengikuti
audisi yang diadakan oleh salah satu produsen musik terkenal. Ini adalah
kesempatan besar bagiku untuk mencapai impianku. Sesampai di rumah aku langsung
disambut senyuman lembut ibu dan makanan sederhana di atas meja makan. Meski
sederhana makanan buatan Ibu ini begitu nikmat saat menyentuh lidahku. “Makanlah
yang banyak. Kau harus tampak sehat saat tampil di televisi.” Kata Ibu. Aku
hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Aku tahu Ibu begitu menyayangiku.
Sudah sejak kecil aku hanya tinggal bersama Ibuku karena Ayahku sudah tiada.
Ibu terpaksa harus bekerja banting tulang berjualan ikan di pasar demi
kelangsungan hidup kami.
Dering jam weker membangunkanku tepat
pukul 4 subuh. Sebelum menuju tempat audisi, aku menyempatkan untuk datang ke
tempat favoritku di pantai Shingu dekat rumahku untuk menyaksikan sunrise dan
bernyanyi sambil bermain gitar. Aku mencoba mencari inspirasi dan menikmati
segarnya udara pagi. Aku mulai bernyanyi satu dua lagu dan memutuskan untuk
kembali ke rumah. Sudah tak ada orang di rumah, ya mungkin Ibu sudah pergi ke
pasar. Meski aku tahu bahwa Ibu ke pasar, aku merasa begitu khawatir. Aku tak
tau apa yang mengganggu perasaanku. Aku memaksa diriku menemui Ibu di pasar.
Benar saja, saat aku tiba di los jualan ibuku, aku menemui los ibu berantakan,
ikan-ikan terbongkar kesana kemari. “Dimana Ibuku?” aku menyahut pada salah
seorang pedagang lainnya. “Di kantor pusat” katanya. Aku bergegas ke kantor
pasar. Dari kejauhan saja aku sudah mendengar bentakan seseorang.
“Kami tak bisa terus menunggu sampai
kau bayar semua utangmu. Kami juga butuh uang” Kata pria itu. Pria itu sudah
tak asing lagi bagiku dan ibuku begitupun dengan bentakannya. Namanya
Matsushiro, pemilik apartemen yang kami huni saat ini. Sudah 3 bulan kami belum
bayar sewa apartemen. Wajar saja kalau akhir-akhir ini dia sering datang
menagih hutang. Seperti biasanya, aku berusaha menjelaskan dan berjanji akan
membayar hutang secepatnya, walau aku tahu kami tidak punya uang sama sekali
untuk membayar hutang kami secepatnya. Seperti biasanya, setelah berbicara
panjang lebar buntutnya pasti ia akan mengalah juga.
“Kamu kok belum pergi?” kata ibu. Aku
baru tersadar kalau aku harus pergi audisi. Aku bergegas dan langsung pergi
bahkan tanpa memberi salam pada ibuku. Tapi, aku masih sempat mendengar
sahutannya dari kejauhan. “Hati-hati nak! Jangan lupa makan bekal yang Ibu
buatkan!” Aku bergegas menuju halte. Aku sangat takut terlambat, pasalnya
tempat audisi itu jauh dan butuh waktu berjam-jam untuk tiba di sana dengan bus
umum.
Jarum jam tanganku menunjukkan waktu
pukul 5 sore. Aku berharap masih dapat mengikuti audisi itu. Ya, aku sudah tiba
di panggung audisi, tapi sialnya panggung tampak sudah sepi dan sudah
dibongkar. Aku merasa hatiku begitu terguncang. Aku hanya bisa bersabar,
mungkin ini belum takdirku untuk mengikuti audisi ini. Aku hanya dapat
menghibur diriku sendiri dengan bernyanyi di tengah gemerlap kota Nagasaki ini.
Aku mengambil langkah-langkah kecil mengitari dan menikmati indahnya kota ini
di malam hari sambil mencari-cari tempat persinggahan untuk bernyanyi. Sebuah
kios di pinggir jalan menarik perhatianku, tempat ini cukup ramai. Aku duduk
bersilah dan menyalakan lilin dan mulai menyetem gitarku. Aku mulai bernyanyi
dan menarik perhatian orang-orang, mereka tersenyum lebar seolah-olah berusaha
menghiburku yang sedang sedih. Senar-senar gitarku seakan-akan membuatku
meringankan semua beban di hatiku. Aku memejamkan mata seolah-olah berenang di
tengah samudera lepas. Saat petikan terakhirku kudendangkan, kubuka mataku
perlahan. Ya, semua bebanku seketika hilang, seperti lagu yang kunyanyikan ini
yang berjudul It’s happy line (itu garis kebahagiaan). Orang-orang tersenyum
dan menuangkan koinnya untukku. Aku harus bergegas pulang sebelum bis terakhir
menuju Yokohama berangkat. Tapi seorang pria berjas mewah menahanku dan
memberikan kartu namanya padaku. Aku sangat terkejut, ia adalah direktur
produsen musik terkenal di Jepang yang mengadakan audisi tadi.
“Kamu punya bakat. Aku suka caramu
menyampaikan pesan melalui musik. Maukah kamu bekerjasama dengan perusahaan
kami?” katanya. Aku tak bisa berkata-kata. Tentu saja aku menerima tawaran itu.
Aku pulang dengan wajah yang sangat berbinar. Ya, tentulah aku senang. Ibuku
sangat bergembira mendengar berita itu. Beitupun dengan aku, tapi di lain sisi
aku juga bersedih karena harus meninggalkan ibuku, sahabat-sahabatku dan kota
kelahiranku Yokohama menuju Tokyo.
Sehari sebelum keberangkatanku, aku
menyempatkan diri bernyanyi di jalan kota Yokohama. Aku menyanyikan lagu salam
perpisahanku pada orang-orang yang setia mendengarku di hari-hari yang lalu.
Inilah lagu perpisahanku “Tokyo”. Singkat cerita, cita-citaku sebagai seorang
penyanyi tercapai. “YUI” seperti itulah orang-orang memanggilku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar