Sabtu, 07 Desember 2013

Contoh Cerpen berdasarkan Pengalaman Orang Lain



Contoh Cerpen berdasarkan Pengalaman Orang Lain

Aku dan Sekeping Yen
Oleh Ardi Alam Jabir
Bunga sakura menghujani jalanku menuju tempat persinggahanku selanjutnya. Gitar yang kutenteng ini sudah seperti sahabat dekatku yang setia menemani hari-hariku. Sudah sejak lulus SMA aku memutuskan untuk benyanyi di jalan-jalan kota untuk meluapkan hobiku dalam seni musik. Aku berani melepas kuliah demi fokus dalam bidang musik, meski aku harus menerima ocehan-ocehan orang.

 
Aku tiba di tempat persinggahanku, tanpa berlama-lama aku duduk, mengeluarkan gitarku dari sarungnya dan mulai menyetem gitar disertai nyanyian-nyanyian kecil sebagai pemanasan. Aku mulai bernyanyi dan mengundang orang-orang datang. Mereka mendengar lagu-lagu yang kunyanyikan dengan wajah lepas. Aku berharap lagu yang kunyanyikan ini dapat melepas semua beban mereka. Bagiku mereka tak hanya memberikan senyuman, tepukan tangan dan sekeping yen yang keluar dari saku mereka tapi mereka memberi hal yang luar biasa, yakni semangat yang memberiku keyakinan bahwa aku bisa mencapai impianku sebagai seorang penyanyi besar.
Tak terasa waktu sudah larut malam, waktunya untuk pulang. Hari ini aku pulang lebih awal dari hari-hari biasanya karena esok ialah hari yang sangat penting bagiku. Besok aku akan mengikuti audisi yang diadakan oleh salah satu produsen musik terkenal. Ini adalah kesempatan besar bagiku untuk mencapai impianku. Sesampai di rumah aku langsung disambut senyuman lembut ibu dan makanan sederhana di atas meja makan. Meski sederhana makanan buatan Ibu ini begitu nikmat saat menyentuh lidahku. “Makanlah yang banyak. Kau harus tampak sehat saat tampil di televisi.” Kata Ibu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Aku tahu Ibu begitu menyayangiku. Sudah sejak kecil aku hanya tinggal bersama Ibuku karena Ayahku sudah tiada. Ibu terpaksa harus bekerja banting tulang berjualan ikan di pasar demi kelangsungan hidup kami.
Dering jam weker membangunkanku tepat pukul 4 subuh. Sebelum menuju tempat audisi, aku menyempatkan untuk datang ke tempat favoritku di pantai Shingu dekat rumahku untuk menyaksikan sunrise dan bernyanyi sambil bermain gitar. Aku mencoba mencari inspirasi dan menikmati segarnya udara pagi. Aku mulai bernyanyi satu dua lagu dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Sudah tak ada orang di rumah, ya mungkin Ibu sudah pergi ke pasar. Meski aku tahu bahwa Ibu ke pasar, aku merasa begitu khawatir. Aku tak tau apa yang mengganggu perasaanku. Aku memaksa diriku menemui Ibu di pasar. Benar saja, saat aku tiba di los jualan ibuku, aku menemui los ibu berantakan, ikan-ikan terbongkar kesana kemari. “Dimana Ibuku?” aku menyahut pada salah seorang pedagang lainnya. “Di kantor pusat” katanya. Aku bergegas ke kantor pasar. Dari kejauhan saja aku sudah mendengar bentakan seseorang.

“Kami tak bisa terus menunggu sampai kau bayar semua utangmu. Kami juga butuh uang” Kata pria itu. Pria itu sudah tak asing lagi bagiku dan ibuku begitupun dengan bentakannya. Namanya Matsushiro, pemilik apartemen yang kami huni saat ini. Sudah 3 bulan kami belum bayar sewa apartemen. Wajar saja kalau akhir-akhir ini dia sering datang menagih hutang. Seperti biasanya, aku berusaha menjelaskan dan berjanji akan membayar hutang secepatnya, walau aku tahu kami tidak punya uang sama sekali untuk membayar hutang kami secepatnya. Seperti biasanya, setelah berbicara panjang lebar buntutnya pasti ia akan mengalah juga.
“Kamu kok belum pergi?” kata ibu. Aku baru tersadar kalau aku harus pergi audisi. Aku bergegas dan langsung pergi bahkan tanpa memberi salam pada ibuku. Tapi, aku masih sempat mendengar sahutannya dari kejauhan. “Hati-hati nak! Jangan lupa makan bekal yang Ibu buatkan!” Aku bergegas menuju halte. Aku sangat takut terlambat, pasalnya tempat audisi itu jauh dan butuh waktu berjam-jam untuk tiba di sana dengan bus umum.
Jarum jam tanganku menunjukkan waktu pukul 5 sore. Aku berharap masih dapat mengikuti audisi itu. Ya, aku sudah tiba di panggung audisi, tapi sialnya panggung tampak sudah sepi dan sudah dibongkar. Aku merasa hatiku begitu terguncang. Aku hanya bisa bersabar, mungkin ini belum takdirku untuk mengikuti audisi ini. Aku hanya dapat menghibur diriku sendiri dengan bernyanyi di tengah gemerlap kota Nagasaki ini. Aku mengambil langkah-langkah kecil mengitari dan menikmati indahnya kota ini di malam hari sambil mencari-cari tempat persinggahan untuk bernyanyi. Sebuah kios di pinggir jalan menarik perhatianku, tempat ini cukup ramai. Aku duduk bersilah dan menyalakan lilin dan mulai menyetem gitarku. Aku mulai bernyanyi dan menarik perhatian orang-orang, mereka tersenyum lebar seolah-olah berusaha menghiburku yang sedang sedih. Senar-senar gitarku seakan-akan membuatku meringankan semua beban di hatiku. Aku memejamkan mata seolah-olah berenang di tengah samudera lepas. Saat petikan terakhirku kudendangkan, kubuka mataku perlahan. Ya, semua bebanku seketika hilang, seperti lagu yang kunyanyikan ini yang berjudul It’s happy line (itu garis kebahagiaan). Orang-orang tersenyum dan menuangkan koinnya untukku. Aku harus bergegas pulang sebelum bis terakhir menuju Yokohama berangkat. Tapi seorang pria berjas mewah menahanku dan memberikan kartu namanya padaku. Aku sangat terkejut, ia adalah direktur produsen musik terkenal di Jepang yang mengadakan audisi tadi.
“Kamu punya bakat. Aku suka caramu menyampaikan pesan melalui musik. Maukah kamu bekerjasama dengan perusahaan kami?” katanya. Aku tak bisa berkata-kata. Tentu saja aku menerima tawaran itu. Aku pulang dengan wajah yang sangat berbinar. Ya, tentulah aku senang. Ibuku sangat bergembira mendengar berita itu. Beitupun dengan aku, tapi di lain sisi aku juga bersedih karena harus meninggalkan ibuku, sahabat-sahabatku dan kota kelahiranku Yokohama menuju Tokyo.
Sehari sebelum keberangkatanku, aku menyempatkan diri bernyanyi di jalan kota Yokohama. Aku menyanyikan lagu salam perpisahanku pada orang-orang yang setia mendengarku di hari-hari yang lalu. Inilah lagu perpisahanku “Tokyo”. Singkat cerita, cita-citaku sebagai seorang penyanyi tercapai. “YUI” seperti itulah orang-orang memanggilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar